Sunday, August 5, 2012

Psikologi oh Psikologi


Empat tahun sudah belajar secara khusus tentang psikologi..

Haha. Jadi inget..Dari SD dulu cita2nya jadi dokter tiba2 berubah di kelas 3 SMA dengan sangat yakin dan songongnya untuk memilih jurusan psikologi. Apa pun yang terjadi. *hayyah*

Empat tahun sudah semakin suka dengan ilmu ini..lebih tepatnya merasa sesuai.. ya.. kadang2 yang terbaik buat kita itu bukan yang paling prestige..tapi yang paling sesuai..dan gw ngerasa gw menemukan passion gw di sini :)

Rasanya benar, makanan untuk otak dan juga pengaruh lingkungan membawa dampak pada prilaku..

Entah sejak kapan tepatnya.. ada beberapa berubahan yang cukup signifikan dalam diri gw dari waktu ke waktu semenjak empat tahun ini.. khususnya pada suatu hal. Sebut saja toleransi. Ga tau sih ini kata yang tepat untuk itu apa ga..
Pada intinya..gw ngerasa jauh lebih tolerans ama berbagai sikap, sifat, dan karakter orang.

Gw jadi cenderung ‘berperasaan’. Menempatkan posisi gw di tempat orang yang gw ajak bicara. Sekarang gw selalu mencoba melihat dari sudut pandang yang lain.. dan gw meyakini..selalu ada latar belakang atas sikap seseorang..dan kadang itu lebih penting dari sikap itu sendiri.. lebih toleran dan positif memandang orang, peristiwa, semuanya..

Sampai seorang guru gw bilang.. bedanya gw sama salah satu kakak gw sebut saja MULKI adalah gw akan lebih mendahulukan damai daripada aman. Sedangkan kakak gw itu akan memilih aman sebelum damai. Haha.. analogi yang ngejleb sebenernya. Hampir tepat.
Apakah itu perubahan yang baik?
Di satu sisi iya.. tapi juga ga selalu. Ya. toleran itu tetap harus tau tempat.

---

Barusan tadi, gw baru aja baca sebuah notes tentang kedilematisan belajar psikologi. Dan well. Gw pun merasakannya (dulu).

Konsep psikologi itu cenderung pada ‘bebas nilai’..meninggikan kenyamanan seorang individu. Jadi nih..orang itu dinyatakan sehat mental..kalau dia happy, mature, dan
independent..kalau ada homeseksual misalnya.. dia merasa nyaman dengan itu.. hidup mandiri dan dewasa atau bahkan berprestasi(?) juga mampu menjalin hubungan sosial yang baik dengan masyarakat.. yah..artinya dia sehat2 aja mentalnya..dan apakah gw harus melanggengkan perbuatan tersebut?

Hemm..gw ngerti sebagai seorang psikolog gw jelas harus dalam posisi ‘menerima’ kondisi apapaun yang sedang dibwa seseorang yang berhadapan dengan gw. Sekalipun itu jelas ga sesuai dengan prinsip gw. Mengatur dengan sebaik mungkin ekspresi yang mungkin timbul dari suatu rangsangan emosi. Mengendalikan secara sadar.

gw rasa..gw masih bisa untuk berwajah santai dan normal ketika misalnya ada orang yang cerita dia habis melakukan hubungan intim dengan lima laki2 yang berbeda dalam seminggu itu dan dia menikmatinya. Atau ada seorang bapak yang datang dan merasa sangat benar telah memukuli anaknya gara-gara menangis. Gw masih bisa melakukannya pada tahapan. “ok, well..itu kondisi lo sekarang,,dan biarkan gw melihat keadaan lo yang sebenarnya lebih lanjut.”

Tapi apakah kemudian gw juga atas nama profesionalitas harus menyepakati suatu perilaku yang nyaman bagi orang tersebut dan tidak menganggangu ranah psikologisnya walaupun melanggar nilai2 yang gw pegang..

Apakah gw mampu atau harus membantu seseorang mencapai kedamaian diri untuk menyadari, menerima, dan mengembangkan self mereka secara positif dalam keadaan dia homeseksual atau situasi lainnya.. menerima secara utuh bahkan saat dunia menolaknya…

Lebih ekstrim lagi.. masa iya gw kemudian menyepakati undang2 pernikahan sesama jenis karena itu hak masing2 individu dan itu nyaman bagi mereka. (di dalam sebuah seminar, seorang gay dan lesbian dengan sangat yakin dan percaya diri menyatakan dia gay/lesbian..dan dia membuktikan dia tetap bisa hidup normal dan malah ‘bahagia’ dengan keadaanya)

hemm..apakah ketika gw nanti suatu saat mendapatkan kasus yang tidak sesuai dengan nilai gw harus ‘mengopernya’ saja pada yang lain?
Apakah gw harus terjebak pada pemikiran filsafat relativistik?
Atau seperti apa?

*dan beberapa hal lain yang membuat gw bertanya tanya saat belajar psikoogi*

Hemm..
Sampai akhirnya gw kembali pada sebuah kalimat. “nahnu duat qobla kulli syai”
Gw adalah dai sebelum yang lain..dan psikolog adalah sebuah sarana..
Gw masih sangat meyakini bahwa agama dan ilmu itu SEPAKET. Yang punya ilmu kan Allah..dan gw juga masih sangat meyakini.. kalau kebahagiaan sejatinya tercapai pada fitrahnmya..

Jadi gmana dong tindakannya?

Hemm.. gw sepakat untuk tetap menjadi orang yang ‘toleran’ sedikit banyak gw jadi lebih bijak menghadapi banyak orang dan masuk ke dunianya.. tapi.. kebenaran tetaplah kebenaran.. dengan segala penerimaan terhadap orang lain yang bisa gw lakukan.. gw lebih sepakat untuk mengemas suatu kebenaran itu untuk masuk dengan nyaman pada orang2 lain.. gw rasa itu juga pake ilmu psikologi..

Emang deh Rosulullah SAW itu teladan semua profesi termasuk psikolog.. berdakwah dengan hikmah..kita cuma butuh lebih bijak menggunakan ilmu yang kita miliki sebagai alat ibadah..

Haha. Semoga aja gw bisa.
Kalau kata Gie mah “Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan”.


--gw yang sedang belajar dan belajar--

*catatan setelah membaca notes Asri Diana Kamilin :)

5 comments:

  1. kta org batak "mantap kalii post kau ne" hhe
    agama sendiri adalah ilmu..
    dan aku msh sangsi dngan pernyataan para "homo" misalnya, yg bilang "aku senang, gembira n nyaman dg keadaanku ne"
    pertanyaannya,, apakah sama kesenangan dg ketenangan? kegembiraan dg kabahagiaan? serta rasa aman dg rasa nyaman?
    kalo fitrah murni kita yg ngjawab pastilah bisa bedain mn yg hakiki n fatamorgana.
    (psikis n emosionalnya kaum penyukan sesama jenis benarkah normal n sehat?? fakta sering bilang "tidak")
    okehh untuk urusan toleransi,bgi saya 'wajib' bgi psikolog untuk bertoleransi, yaa berakit rakit kehulu bru brenang kemudian,bertoleransi dulu baru mengobati kemudian. hanya ngomong mang trasa mudah sekali,. ntah prakteknya hhaaa

    mau curhat jg dehh uhkti.. q jg ngrasa 'lbih bijak n toleran ma org lain sejak di psikologi, tp tetap saja untuk solusi kejiwaaan, makin belajar psikologi makin menyadarkan betapa tokcernya solusi agama islam kita, bru kenal ma sigmund freud sja, di smstr 1, batin dah bilang loh Rosul dah punya konsep yg lebih dr id ego n super ego,bgmn 'Qolb' n dimensinya,. ulama2 taswwuf dah ngbedah alam bawah sadar,
    saat kenal ma gustav jung dgn konsep ketidaksadaran kolektif, loh Al ghozali dah jelasin mengenai spontanitas alam bawah sadar yg muncul kepermukaan brati itu representasi nafs nya,klo kita dikagetin dan kata ALLOH yg muncul dr lisan kita kt Ghozali brati kesadaran akn ALLOH telah ngalir dalam darahnya,(loh loh.. ko malanh ngaco gk jelas q uhkti, hhaa mohon dimaklumi :D) intinya sepakat dah ma post di atas. yg haram tetap haram,n toleransi psikologi ini 'hikmah' yg humanisme.
    hhaaaaaa... commenntnya nglanturrr afwan

    ReplyDelete
  2. bang emron..ini gw udah make gw-lo dan masih aja dipanggil ukhti2 gitu.. kembalilah seperti biasanya saja -.-" gw jadi agak gimana gitu..

    sepakat deh bang sama paragraf pertama!

    wuih..kayaknya bang emron udah belajar banyak nih dari ahli2 psikologi Islam. di share dong bang..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hhaa..panggelan "ukhti ato akhi" semacam jd label sesuatu gt yaa,. hha.
      belom prnah belajar sma se x. ne msh nyantri di kristal violet.

      Delete
    2. sbenenrya artinya bagus.. biasa aja..saudara perempuan atau saydara laki-laki.. tapi yah biasalah.. jadi labelling yang bebeda.. kalau kita mau belajar bahasa arab..tentulah tidak mengapa..bagus sekali! tapi masalahnya itu lebih sering jadi label ling dan gmana gitu.. he.

      Delete
  3. Menyimak ..... sambil tidak mengerti pembicaraan orang psikologi. ha ha ha

    ReplyDelete