Thursday, November 8, 2012

yang terserak #2


Lalu saya berjalan-jalan lagi malam ini. sama seperti lalu-lalu di lalu lintas bebas hambatan. naik turun transfersal. berjalan, berlari, melompat apapun lah asal bukan mengumpat. Memungut satu-satu daun yang jatuh yang katanya tidak pernah membenci angin. Apakah dia mencintai angin? Sayangnya tidak bukan berarti iya. padahal jaraknya hanya selapis kain, mungkin. Bisa jadi pasrah, bisa jadi tidak peduli, bisa jadi menanti, bisa jadi meronta, bisa jadi….. ah..seribu bisa jadi..prasangka tetaplah prasangka.. lalu kita lelah sendiri dengan hanya diam. Maka lebih baik membuat segalanya baik. setidaknya kita tidak akan berlelah –lelah merutuki matahari yang –masih- setia berkeliling menyapa dunia. Siapa yang peduli, dia lelah atau tidak. sepanjang waktu tersenyum cerah meriah. siapa yang peduli, dia benci atau tidak, sring dirutuki, dipersalhkan membuat siang yang gerah. Maka lebih baik membuat segalanya baik..kabar baiknya, segalanya jadi leih padang, terang benderang.. lalu kita ringan berjalan. Bahkan selapis kain bisa jadi membuat batu tersenyum manis atau sedang memaki.. kita saja yang memilih.. apakah percaya pada janji Allah itu juga pilihan? Kita ini senang sekali membuat rumit. Siapa sih yang mebuat pilihan-pilihan? Satu sampai seribu. siapa sih? siapa ya?

Kadang-kadang dalam sebuah ujian kita tahu jawaban yang benar apa. tapi entah bagaimana mekanismenya. Kita jadi pura-pura bodoh atau lupa atau tidak mau tahu atau merasa sudah terlampau bagus nilainya atau tidak yakin ketika menngintip jawaban teman yang lain atau hanya menantang, kita memilih jawaban yang lain. lalu entah bagaimana pula jawaban itu menghipnotis untuk menjadi yakin dengannya. Tidak ada jawaban lain selain yang saya pilih. Begitulah katanya. Hebat benar hipnotis itu terjadi. Jawaban yang –mungkin- sebenarnya benar tidak terlihat di sana. atau jangan2 dia pergi. Lelah mengingatkan. Atau sebenanrnya dia masih menanti. Ah, sayang. cintanya bertepuk sebelah tangan.

Hijau adalah hijau seperti perjalanan kali ini. tapi hijau tak selalu hijau yang sama. Padahal sama-sama hijau. Saya tidak akan bertanya kenapa hijau menjadi berbeda dengan hijau. Lalu sebenarnya apakah hijau itu. saya hanya curiga pada apa yang membuat hijau yang ini terlihat lebih hijau dari hijau yang ini. mengapa hijau ini lebih hijau dari hijau ini. bukankah sama-sama hijau. Lalu yang lain beranggapan yang itu lebih hijau, ah tidak yang ini pasti lebih hijau. Tidak juga. Yang itu paling hijau. Bagaimana kalau yang itu. itu hijau sekali. Lalu sibuk mencari-cari siapakah yang sedang sedang menghijua paling hijau. Padahal kita juga hijau. Tapi sayangnya tanpa melihat cermin kita seringkali lupa kita juga hijau. Bahkan dengan cermin pun, kita seringkali menyangka itu hijau yang lain. bukan. Bukan. Itu bukan kita. Kenapa hijau ini juga jadi begitu rumit. Padahal hijau itu warna yang ringan. Menyejukan. Tidak melelahkan mata yang memandang. Dekat. Sudah begitu fitrahnya. Makanya warna exit selalu hijau kan.. sama seperti lampu lalu lintas yang malam ini hijau semua. Kenapa warna hijau ini jadi begitu rumit. Siapa sih yang hijau jadi begitu berisik dan melelahkan. Siapa sih? siapa ya?

Satu. satu. masih memungut daun-daun yang terserak. Berjalan, berlari, melompat, apapun lah. Asal bukan mengumpat. Ah. Masih banyak. yang terserak. acak yang terstruktur. Fuh. Saya mudah sekali bosan. Baiklah. Kita sudahi saja. Kita pulang dan kembali pada likert, guttman, thurstone, atau siapa saja yang mau membujuk saya pulang.

*gambarnya dari sini

No comments:

Post a Comment